diceritakan oleh : Agung Cahyo Wibowo
Kerajaan Kanjuruhan
CIKAL BAKAL KERAJAAN DI MALANG
CIKAL BAKAL KERAJAAN DI MALANG
Pada kisaran abad VII, Malang adalah sebuah teritorial integrasi yang cukup maju di zamannya. Piagam Dinoyo, piagam tertua di Jawa Timur yang berbahasa Sansekerta dengan aksara Jawa Kuno memberi arti penting bagi silsilah sejarah Malang. Pada masa itu tradisi penulisan prasasti telah dikenal oleh dinasti Kanjuruhan yang dipimpin oleh “putra” Dewa Simba yang bernama Gajayana.
Situs Kanjuruhan meliputi daerah Karang Besuki, Karang Dinoyo, Kejuron, Mertojoyo, dan Merjosari. Nama Kanjuruhan sendiri berasal dari kata Juruh yang artinya getah enau. Pemberian nama Kanjuruhan memiliki latar simbolik, bahwa kerajaan yang dipimpin oleh Limwa atau Gajahyana itu memiliki kaitan dengan kerajaan Bogor Pradah (pohon enau bersalut emas) milik ayahandanya yakni Dewa simha yang situs pen-dharma-annya terletek di dusun Bogor Pradah, Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.
Berita Cina Dari Dinasti Tang
Keberadaan Kerajaan Kanjuruhan dapat dikaitkan dengan berita – berita Cina dari Dinasti Tang yang menyebutkan bahwa di Jawa dewasa itu terdapat Kerajaan Kalingga atau Holing, diman raja hidup di kota Chopo’o, tetapi salah seorang nenek moyangnya. Bernama Kiyen, pernah memindahkan tahtanya ke sebelah timur, yaitu P’olouk’i-asseu.
Topinim Chopo’o ssendiri mengingatkan kita pada kata Kepu (ng) yakni kota Kecamatan di mana Dusun Bogor Pradah yang terletak di Desa Sima (an) berada. Sedang nama Kalingga atau Holing merujuk pada toponim Keling yakni sebuah desa di sebelah barat desa Kepung.
Sementara nama P’olouk’iasseu menunjuk pada toponim Waharu Gasek (nama Waharu kemudian hilang tetapi sempat disebutkan dalam prasasti Waharu yang ditemukan dekat Karang Besuki, dan yang tersisa hanya toponim Gasek tempat dimana candi Badut terletak). Sedang gelar Kiyen menurut berita Tang yang disandang raja tampaknya merujuk pada gelar khas yang lazim digunakan para bangsawan di daerah Malang hingga abad ke 13 seperti terpateri pada nama Ken Arok, Ken Endok, Ken Dedes, Ken Umang. Dengan demikian, jelaslah bahwa tokoh nenek moyang raja Kalingga atau Holing yang memindahkan Ibukota ke sebelah timur sebagaimana dimaksud berita dari Dinasti Tang adalah Gajahyana.
W.J van der Meulen (1988)
menyebutkan bahwa berdasar sumber– sumber Tionghoa lainnya, perpindahan ibukota kerajaan Kalingga atau Holing terjadi antara tahun 742 hingga 755. Penetapan tahun itu bertepatan dengan masa dimana Gajahyana hidup. Ini, berarti, sepeninggal Dewasimha, Gajayana meningggalkan Ibukotanya dari sebelah barat Gunung Kelud ke sebelah Timur Gunung Kawi. Selanjutnya W.J van der Meulen berpendapat, perpindahan itu berkaitan dengan serangan angin ribut (Sanjaya) yang menampar dari arah barat. Pemindahan Keraton dari Bogor Pradah di barat ke Kanjuruhan di timur dibawah ini merupakan strategi terbaik Gajayana, terutama jika hal itu dikaitkan dengan letak geografis Kanjuruhan yang berada di wilayah Tumapel yang dipagari barisan gunung.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, sebelum mendirikan keraton Kanjuruhan, Gajayan berkeratin di Bogor Pradah, tetapi karena berlindung dari serangan Sanjaya yang berasal dari barat, maka Gajayana memindahkan keratonnya ke sebelah timur yakni di Kanjuruhan. Dengan demikian, nama juruh dan bogor memiliki kaitan simbolik. Tetapi keturunan Gajayana kemudian memindahkan lagi keratonnya ke sebelah barat yakni di Chopo’o atau Kepu (ng).
Ditulis Oleh ANANA, Cucu Raja Gajayana
Keberadaan kerajaan Kanjuruhan sendiri diketahui berdasar inskripsi dari prasasti yang ditulis oleh Anana, cucu raja Gajayana. Prasati itu ditulis dengan huruf kawi tetapi berbahasa Sansekerta. Menurut terjemahan F.D.K. Bosch dalam De Sanskritinscriptie op den steen van Dinaya, terjemahan Prasati Dinoyo adalah sebagai berikut:
“Kemuliaan di tahun saka 682 yang telah berlalu ada seorang raja bijaksana dan berkuasa Dewa-simha di bawah lindungannya api putukecwarayang menyebar sinar di sekelilingnya Juga Limwa puteranya yang bergelar Gajayana melindungi manusia bagaikan anaknya Ketika ayahandanya marak ke langit Limwa melahirkan anak perempuan Uttejana namanya dan dia adalah permaisuri raja Pradaputra dia juga ibu Anana yang bijaksana cucu Gajayana orang selalu berbuat baik terhadap kaum Brahmana dan pemuja Agastya tuan yang dilahirkan dari Tempayan
Ananah yang menyuruh penduduk dan banyak orang penting untuk membangun kediaman yang indah untuk Agastya yang Agung dan Suci untuk menghancurkan kekuatan musuh. Sesudah itu dia melihat patung Kalacaya dari kayu cendana yang dibuat leluhurnya dan tak boleh dipandang lebih lama diapun dengan segera memerintahkan kepada seorang seniman untuk membuat arca resi yang sama dari batu hitam/ yang keindahannya sangat menakjubkan
Bertolak dari bunyi Dinasti Tang dan Prasati Dinoyo, maka diketahui bahwa Karajaan Kanjuruhan didirikan oleh Limwa atau Gajayana sebagai kelanjutan dari kerajaan kalingga atau Holing yang berkeraton di Bogor Pradah, Sima (an), Kepu (ng), Kediri. Pelanjut Gajayana adalah Uttejana, puteri Gajayana yang menikah dengan anak lelaki Pradah Putera. Uttejana digantikan oleh Anana dimana pada masa pemerintahan Anana inilah candi Badut dan Prasasti Dinoyo dibuat yakni sekitar tahun 760 Masehi.
Menurut catatan Dinasti Tang, raja Kalingga atau Holing mengirim utusan ke kaisar pada 766 dan 779 yakni masa yang sama dengan masa kekuasaan Anana. Dengan demikian, Raja Kalingga atau Holing yang diberitakan Dinasti Tang hidup di kota Chopo’o atau Kepu (ng) adalah keturunan dari Anana.
Sebuah legenda menceritakan sejarah merawikan bahwa kekuasaan yang dipimpin Prabu Gajayana disucikan oleh sang Putikecrawa atau Mahadewa Syiwa.
Selain piagam Dinoyo, banyak lagi peninggalan sejarah yang mengindikasikan tingginya peradaban dan epik sejarah Malang. Seperti, Candi Badut yang ada pahatan Mahakala, Nadicwara, Arca Agastya, Piagam Muncang, Arca Ganesya, piagam Sukun dan lain-lainnya.
Menelusuri peta kekuasaan di tanah Jawa tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan perkembangan ajaran Hindu dan Buddha yang dibawa oleh para Wangsa Mataram di Kedu dan Wangsa Sailendra. Gelombang kekuasaan Hindu berhembus dari arah Barat yang akhirnya menguasai seluruh daratan Jawa. Empu Sendok yang merintis berdirinya Kerajaan Medaeng (Medang) penuh dengan misi perubahan yang berlatar Hindu. Dalam perkembangannya kemudian, Kahuripan lahir sebagai wuri kerajaan Medaeng, memperbaharui implementasi tata kasta yang saat itu meminggirkan peran mayoritas rakyat, terutama kaum tani dan nelayan. Implementasi pembaharuan itu mengukuhkan seorang sosok pembangun yang dikenal dalam sejarah sebagai seorang pembebas yang bernama Sri Erlangga. Tidak heran bila burung garuda (tunggangan Dewa Wisnu) di identikkan juga dengan Erlangga. Misi ‘Magna Carta’ yang ia cetuskan dipandang seiring dengan harapan masyarakat pada konteks peradaban manusia kala itu. Tampakanya factor ini juga yang mengharuskan Malang berada dalam pengaruh Wangsa Isyana.
Timbulnya karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Tahun penemuan Prasati abad 7 ini yang dipakai sebagai Hari jadi Kabupaten Malang, yang sekarang sudah berusia 1249 tahun. Dan dari Nama Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan banyak digunakan simbul-simbul kemegahan bangunan Kabupaten Malang / Kota Malang.