Simbul Pertarungan Berbagai Identitas
Oleh : Paring Waluyo Utomo
Setiap Bulan Selo ,dalam perhitungan kalender Jawa di Dusun Pijiombo, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang selalu dirayakan upacara ritual bersih desa dan kirap topeng. Acara ritual itu merupakan tradisi turun temurun diwilayah itu. Pijiombo termasuk satu kawasan dengan tempat makam Embah Junggo, dipuncak Gunung Kawi. Makam Eyang Junggo selama ini memang dikenal luas oleh masyarakat sebagai tempat yang dianggap keramat dan memiliki nuansa magis. Bahkan beberapa kalangan memanfaatkan Makam Eyang Junggo sebagai tempat untuk mencari pesugihan. Ditempat itu kerapkali dijumpai warga pendatang yang tidak sekedar berwisata, tetapi mereka sering menjalankan ritual-ritual tertentu sesuai dengan keyakinannya. Pada Bulan Selo atau Bulan Januari 2004 ini, warga Pijiombo untuk pertama kalinya menambah acara bersih desa itu dengan kirap Topeng. Menurut Suko (46 tahun) warga Pijiombo sekaligus koordinator acara ritual kirap topeng legenda, “Acara ini merupakan wujud ucapan terima kasih warga Pijiombo terhadap Gusti Allah. Disamping juga sebagai usaha masyarakat untuk membersihkan desanya dari segala macam bala. Sebab beberapa waktu yang lalu topeng topeng (legenda) yang telah hilang tiba tiba kembali berada di desa ini.Nah untuk mengantisipasi kemungkinan buruk didusun ini, maka dibuatlah acara kirap topeng legenda ini”, ujarnya.
Tatkala saya, tiba di Dusun Pujiombo, hari telah merambat naik menuju malam. Sementara dirumah kepala dusun, telah siap panggung pagelaran wayang topeng. Tepat pada pukul 08.00 WIB, acara pagelaran wayang topeng segera dimulai. Malam itu yang tampil dan mengatraksikan kesenian adalah wayang topeng anak anak. Malam itu sengaja menampilkan wayang topeng yang diperagakan oleh anak anak untuk mengukur keberhasilan kaderisasi penari penari topeng. Ngatiman (40 tahun), penari topeng sekaligus pelatih tari topeng dari Pijiombo menyatakan, “Acara kirap ritual topeng kali ini agar melibatkan seluruh unsur dan umur dari warga Dusun Pijiombo, sehingga sengaja malam itu menampilkan wayang topeng yang dilakukan oleh anak anak. Disamping itu juga sebagai usaha untuk menggali bibit potensial bagi kelangsungan penari penari topeng Pijiombo dimasa mendatang. Acara malam ini hanya awal acara sebelum masuk ke acara inti, yaitu kirap topeng yang menyertakan sebagian warga desa esok hari yang dimulai dari mulut desa hingga ke punden desa”.
Malam terus merambat, hampir seluruh warga dusun sangat menikmati acara wayang topeng yang disuguhkan oleh anak anak itu. Tua muda, laki dan perempuan semuanya berkumpul dipelataran rumah kepala dusun yang telah diseting menjadi panggung pertunjukkan. Berbagai macam makanan tradisional dan suguhan makam malam telah dipersiapkan oleh panitia untuk menyambut tamu tamu dari luar, termasuk saya yang malam itu disambut hangat oleh kepala dusun. Dengan sangat antusias warga dusun malam itu menikmati tontonan yang hanya berlangsung setahun sekali itu. Menurut Harsoyo (60 tahun), tokoh topeng Pijiombo “ Kirap topeng legenda biasanya dilakukan oleh warga Dusun Pijiombo setiap Bulan Selo dalam penanggalan Jawa. Bulan Selo berarti bulan jeda, artinya pada bulan ini warga memiliki kesempatan untuk membersihkan diri dan lingkungannya. Selo itu kan berarti selo selo (waktu senggang). Biasanya waktu selo warga dusun itu tidak disibukkan oleh aktivitas aktivitas bertani. Waktu selo itu lantas dimanfaatkan oleh warga untuk mengisi aktivitas bersama yaitu bersih desa ini. Nah, kalau ada waktu senggang tidak kita manfaatkan takutnya lingkungan didusun ini menjadi tak terawat, baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual.” Ujarnya.
Jarum jam telah menunjukkan angka duabelas malam, berbarengan dengan usainya wayang topeng yang diperagakan oleh anak anak Pijiombo. Walau begitu acara jagongan oleh warga tetap dilakukan. Sambil menenggak kopi dan mengisap rokok beberapa warga tampak terlihat berbincang santai dan guyub. Namun dipinggiran dusun, tepatnya dimakam Eyang Ngarijan (punden desa) tampak beberapa lelaki tua yang bersemedi ditempat itu. Dalam gelapnya malam yang tampak hanya nyala merah dupa ratus, sementara gemercik air yang keluar dari sumber disamping Punden Eyang Ngarijan dan derai angin malam yang menggesek dahan dahan bambu yang lebat seolah memberi irama untuk mengantarkan kekhusukkan orang orang yang sedang bersemedi tersebut hingga menjelang fajar.
Pagi itu aktivitas warga dusun kian bertambah, para peserta kirab topeng legenda yang akan dipusatkan di Punden Eyang Ngarijan tampak bersiap siap merias diri. Bahkan beberapa gadis yang akan membawa topeng legenda tampak menjalani ritual ritual tertentu, seperti mandi bunga setaman. Sementara kesibukkan di dapur kepala dusun juga kian bertambah, beberapa wanita mempersiapkan sesaji berupa tumpeng besar dan kecil sebanyak 40 buah. Matahari telah bertengger diufuk timur, riuh rendah pemuda pemuda desa yang bergotong royong menata berbagai macam peralatan seperti meja dan kursi, gentong air, janur sebagai hiasan dan sound system disekeliling Punden Eyang Ngarijan tampak mewarnai kesibukan dipagi itu. Setelah berbagai persiapan teknis usai, beberapa panitia tampak mengkoordinir peserta kirap untuk dikumpulkan disalah satu rumah penduduk yang paling besar dan berhalaman luas.
Walau berada dikawasan puncak gunung, terik matahari di Pujiombo siang itu terasa membakar kulit. Kini seluruh peserta kirap telah berkumpul disalah satu rumah penduduk. Suko sebagai pengarah acara saat itu menata barisan kirap berdasarkan urut urutan ritual kirap. Tampak dibarisan paling muka adalah empat orang gadis desa yang membawa 3 buah topeng legenda dan penabuh gong, yang diapit dua orang jejaka dikanan kirinya sambil membawa payung berhias. Barisan dibelakangnya adalah para sesepuh atau tokoh masyarakat desa dan pamong desa. Disusul kemudian delapan gadis yang dianggap sebagai pagar ayu sambil membawa cawan yang berisi air, lantas dibelakangnya beberapa penari topeng yang kebanyakan anak anak. Urutan berikutnya adalah beberapa gadis dan ibu ibu yang membawa sesaji sebanyak 37 tumpeng kecil, serta pembawa bunga bunga setaman dan beberapa laki laki yang memikul tumpeng besar. Bahkan kalangan tua didesa itu juga tak mau ketinggalan, dibelakang pembawa sesaji, tampak barisan sesepuh desa yang juga ikut berdandan ala prajurit kerajaan. Sedang diurutan yang paling akhir adalah para pejabat pemerintah kabupaten dan ditutup dengan iring iringan kelompok kesenian seperti jaranan kepang.
Besarnya peserta kirap topeng malangan siang itu membuat iring iringan panjang yang merentang disebagian besar jalan desa. Perlahan tapi pasti barisan itu berjalan bergerak menuju mulut desa, tempat dimana pembukaan acara kirap topeng legenda itu dimulai. Sementara dimulut desa telah dipersiapkan panggung pembukaan acara itu. Begitu arak arakan itu tiba, Suko sang koordinator acara yang dibantu oleh Mochamad Sholeh, mengatur barisan itu agar tetap dalam posisi yang ditentukan sejak awal. Acara pembukaanpun segera dimulai dengan mempersembahkan tari beskalan, sebuah tarian khas malangan yang diperuntukkan untuk menyambut tamu dari luar. Dengan lemah gemulai Karen Elisabet (isteri Mochamad Sholeh, dari Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang) menarikan tari beskalan sambil mendendangkan tembang tembang Jawa kuno. Alunan gending yang mengalun menuntun Karen dalam irama gerak tari yang rancak nan gemulai.
Sesaat setelah berbagai acara ceremoni seperti sambutan berbagai kalangan, terutama dari pejabat kabupetan usai, pemandu acara menggerakkan iring irirngan peserta kirap bak naga merayap menuju Punden Eyang Ngarijan. Setibanya di punden, para peserta kirab dan warga pada umumnya mulai ramai mengerumuni sekeliling punden. Tampak empat orang sesepuh desa menyambut kedatangan empat orang gadis pembawa topeng dan pemukul gong. Sesaat kemudian topeng diterima oleh sesepuh desa lantas dibuka dan diletakkan diatas meja beralaskan kain kafan tepat didepan punden. Dengan penuh khitmad dan khusu’ empat orang sesepuh laki laki itu termenung dalam doa mengahadap topeng didepannya, asap kemenyan tampak mengepul menebar aroma wangi. Setelah berdo’a, empat sesepuh desa itu lantas menerima cawan yang berisi air dan bunga setaman dari peserta kirab yang rata rata perempuan. Air yang berada didalam cawan lantas ditaburkan perlahan lahan oleh empat orang pawang desa itu diatas topeng. Berbarengan dengan itu, para pembawa sesaji sebanyak 40 tumpeng besar dan kecil, bumbu bumbu dapur, bunga setaman, dan bubur merah secara simbolis menyerahkan kepada empat orang perempuan sesepuh desa dan diletakkan dibelakang topeng legenda.
Empat orang pawang masih dalam pengembaraan spiritualitasnya, pantengeng pamujo disisi topeng legenda. Saat itu pula empat orang perempuan tua tampak menebarkan garam dan bunga setaman disekeliling punden. Sementara topeng yang telah terselimut oleh kain kaffan putih diberikan percikan air yang berasal dari cawan dengan dibumbui berbagai mantra mantra magis. Upacara pemandian topeng sebagai simbol pembersihan lingkungan telah dilakukan. Sesaat kemudian empat orang sesepuh desa yang menjadi paweang dalam ritual itu bersemedi lagi, suasana khusu’ dan keheningan membalut prosesi itu. Semua orang tanpa dipandu larut dalam olah batinnya masing masing.
Tatkala persemedian usai, seorang penari topeng mendatangi empat orang pawang, tampak salah saru dari pawang itu memberikan topeng yang telah diruwat itu kepada sang penari. Topeng segera dikenakan, dan inilah saat pertunjukkan tarian topeng ritual segera dimulai. Saat menempelnya topeng pada raut muka sang penari adalah tanda jati diri yang berada raga sang penari representasi dari tokoh yang sedang ditarikan. Secara spiritual, penari topeng bukan lagi Ngatiman penduduk Dusun Pijiombo, melainkan tokoh Panji Asmoro Bangun yang sedang beratraksi menari nari. Sosok Panji Asmorobangun telah menjadi medan magnet yang mampu meraup perhatian peserta ritual siang itu. Setiap hentakan kaki sang Panji, dan lemparan selendangnya seolah manifestasi kewibawaan raja raja Jawa tempo dulu yang dapat dipotret pada masa kini. Irama gerak tari yang dibawakan oleh Panji lambat laun mengajak para audien dalam pengembaraan dan imajinasi suasana dan lingkungan semasa kehidupan fisik Panji Asmorobangun. Semua orang telah memasuki dimensi masa lalu, mengulang kembali ingatan ingatan masa lalu dalam memori spiritualitas. Lantas semua seolah tidak mementingkan lagi ruang dimensi, sekarang atau masa lalu. Yang pasti dalam benak mereka semua adalah bagaimana memperlakukan lingkungan itu sendiri secara layak. Begitu atrakasi tari tarian yang diatrakasikan oleh Sang Panji usai, sosok Ngatiman lantas muncul kembali secara fisik maupun spiritualitas. “Dalam pandangan orang awan akan sangat kesulitan untuk mendeteksi bahwa tatkala topeng itu dikenakan sosok siapakah yang muncul? Dirinya sendiri ataukah tokoh topeng yang sedang ia kenakan, namun bagi orang orang yang waskito, memeliki keheningan batin, dan jiwa yang bersih akan betul betul merasakan sosok baru dalam pertunjukkan topeng”, demikian ungkap Ngatiman.
Setelah pertunjukkan topeng yang pertama usai, tampak penari kedua bersiap diri menghampiri pawang untuk menjalani prosesi mengenakan topeng. Dalam atraksi yang kedua ini menampilkan sosok Raden Gunungsari. Gunungsari adalah sederet tokoh tokoh kesatria Jawa yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai identitas yang patut menjadi panutan. Tari topeng yang kedua ini secara simbolik merepresentasikan kejadian kejadian seperti atrakasi topeng yang pertama. Begitu usai menari, pawang lantas membungkus topeng kembali dengan kain kaffan dan memasukkanya kedalam dalam peti kayu.
Acara selanjutnya adalah pembacaan do’a penutup yang dipimpin oleh seorang modin (immamudinn) didaerah tersebut. Do’a- do’a Islam bercampur dengan Jawa itu segera mengalir, membahana dalam suara sound, membelah kesunyian hutan bambu. Seusai pemanjatan do’a do’a keselamatan, kesejahteraan, dan ketentraman desa, maka semua peserta upacara kirap dengan sangat guyub menikmati puluhan tumpeng yang telah disediakan oleh panitia. Tumpeng tumpeng itu pula yang diiring sejak pagi tadi. Acara makan siang itu berlangsung dengan suasana yang penuh dengan egaliter, tak ada lagi pembedaan status sosial. Lurah, bayan, kamituo, modin, warga biasa, laki, perempuan, tua-muda, semuanya bersimpuh disekeliling Punden Eyang Ngarijan untuk bersantap siang bersama.
Begitu makan siang usai, pemandu acara segera mengumpulkan kembali barisan kirap sesuai dengan urut urutan yang telah dibentuk sejak awal. Rombongan segera bergerak kembali, kali ini tujuan peserta kirap adalah rumah Kepala Dusun. Dirumah itulah telah siap berbagai atraksi komplit pertunjukkan Topeng Malangan.
Panggung pertunjukkan yang tadinya senyap lantas terisi para nayogo topeng, Ki Soleh, Dalang dari Padepokan Mangun Dharmo, Tumpang segera membuka lakon lakon topeng. Siang itu, pagelaran wayang topeng dimulai. Sang dalang, Ki Soleh dengan suaranya yang menggelegar memandu alur cerita dari pertunjukkan. Sebagai pemula pertunjukkan, mengalunlah gending giro, suara gamalen mengalun datar yang sesekali disela dengan suara gong terus mengalir. Sebagai sambungan dari gending giro adalah tarian pembuka yang biasanya menampilkan tari beskalan. Cuaca yang tadinya menyengat berubah menjadi mendung dan tampak air bintik bintik kecil mulai jatuh. Kini pertunjukkan memasuki babak Jejer Kerajaan Kediri (Jejer Jawa) hingga grebeg prajurit kediri, yaitu kisah kisah tentang sejarah dan kemashyuran tanah Jawa. Berbagai tokoh kesatria Jawa seperti Lembu Amilihur, Panji Asmorobangun dan lainnya. Ratusan penonton dengan sangat hikmat menikmati irama gerakan yang dibawakan oleh tokoh tokoh kesatria itu, sambil dipandu oleh suara sang sutradara (baca; dalang) yang menjadi kuasa sentral dalam pertunjukkan itu.
Wayang topeng, dalam cerita panji memang sangat kental tentang perlawanan orang orang Jawa terhadap kekuatan asing yang hendak mencaplok tanah Jawa. Maka tak ayal lagi, Ki Dalang lantas memasukkan juga Jejer Sabrang setelah adegan Jejer dan Gregeg Jawa usai. Untuk menaikkan alur pertunjukkan menuju klimak dari pertunjukkan wayang topeng adalah perang grebeg, yaitu sebuah adu tanding antara kesatria kesatria Jawa dengan Klono Sabrang (baca: orang orang asing). Namun perang grebeg bukanlah titik klimak dari pertunjukkan wayang topeng. Dalam babak perang grebeg memang tidak ada penyelesaian. Fase inilah yang membuat penonton begitu “geram”, bahkan tak sabar ingin mengetahui penyelesaian dari perang grebeg. Karena belum ada akhir, maka perang grebeg surut hingga mencapai titik reda. Dalam masa jeda peperangan, lantas Ki Dalang dengan sangat lihai menurunkan tingkat emosi penonton yang telah larut dalam alur cerita. Emosi penonton yang dibentuk oleh Ki Dalang melalui perlawanan tokoh tokoh protagonis (Kesatria Jawa) dengan tokoh tokoh antagonis (Klana Sabrang) mulai diturunkan dengan menyuguhkan Jejer Gunungsari dan Patrajaya. Adegan lucu dan menggelikan yang mewarnai Jejer Gunungsari dan Patrajaya yang dikemas oleh sang dalang telah dengan sekejap merubah suasana pertunjukkan dengan gelak tawa penonton.
Alur pertunjukkan yang sedemikian fluktuatif yang dikemas oleh Ki Dalang telah menguras emosi penonton, sebab pada babak berikutnya seusainya Jejer Patrajaya adalah perang puputan. Perang Puputan adalah pertandingan menang kalah antara orang orang Jawa yang digambarkan dengan sosok tampan, berbudi dan berperadaban tinggi melawan dengan orang orang seberang tanah Jawa (Klana Sabrang) yang dipersonifikasi sebagai tokoh yang berangasan, bentuk fisik yang menakutkan, dan berperadapan rendah. Dalam perang puputan, dalang Ki Sholeh mengakhirinya dengan kemenangan kesatria kesatria Jawa. Pertunjukkapun berakhir dengan happy ending, semua penonton yang mayoritas warga Desa Wonosari tampak berseri seri raut mukanya, walau saat itu menjelang magrib dan hujan tak henti hentinya.
Pribumisasi Wayang
Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi kultural dan religiusitas masyarakat Jawa semenjak Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana semasa abad ke 8 M. Namun topeng masa itu dalam penuturan Karimun (82 tahun) tidak diperuntukkan acara acara kesenian seperti sekarang ini. Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan. Barulah pada masa Raja Erlangga, topeng dikontruksi menjadi kesenian tari. Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya, ujar Karimun.
Karena wilayah Jawa waktu itu adalah area berkembangnya Agama Hindu yang datang dari India, maka cerita cerita wayang, termasuk wayang topeng juga mengambil cerita cerita dari India, seperti kisah kisah Mahabarata dan Ramayana. Analisis mengenai pengaruh pengaruh India memang sangat hegemonik. Henri Supriyanto, penulis buku Wayang Topeng Malangan menyatakan bahwa “ada pola berfikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa. Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni”. Begitu dominannya sastra India waktu itu, Henri melihat bahwa, bahwa diakui dalam banyak hal, terutama kasusastraan Jawa waktu itu banyak menyerap dan membumikan nilai nilai India yang integrated dengan Agama Hindu itu di tanah Jawa. “Jawa memang dalam banyak hal merupakan imaginary India, wayang itu cerita India. Pada jaman Kediri cerita cerita wayang seperti mahabarata diterjemahkan pada masa pujangga pujangga besar semasa kerajaan kediri. Akhirnya cerita wayang itu ditempel dicandi candi. Didalam adaptasi kisah kisah sastra India yang diceritakan diJawa ini dengan diserap dan masukkan dalam nilai kehidupan mereka. Sehingga segala sesuatu yang berasal dari India itu tak lagi dinamakan dengan sastra india akan tetapi sastra jawa. Kalau di India ada puncak evrest, disini ada puncak semeru, kalau disana ada Dewa Siwa yang menciptakan bumi dan langit dengan arah empat arah mata angin dan satu pusat, disini diterjemahkan menjadi kiblat papat limo pancer. Lalu peristiwa peristiwa yang ada di India itu sepertinya disini, seperti bengawan silugongong, ada juga bengawan solo. Nah yang unik, tradisi menjawakan India itu diikuti oleh para wali dengan menjawakan Islam. Sehingga pada jaman ajisoko, didalam buku versi Islam, Ajisoko adalah Ki Joko yang merupakan pelarian dari tanah arab yang menjadi prajurit di Ngeruk” ujar Henricus.
Karena wilayah Jawa waktu itu adalah area berkembangnya Agama Hindu yang datang dari India, maka cerita cerita wayang, termasuk wayang topeng juga mengambil cerita cerita dari India, seperti kisah kisah Mahabarata dan Ramayana. Analisis mengenai pengaruh pengaruh India memang sangat hegemonik. Henri Supriyanto, penulis buku Wayang Topeng Malangan menyatakan bahwa “ada pola berfikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa. Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni”. Begitu dominannya sastra India waktu itu, Henri melihat bahwa, bahwa diakui dalam banyak hal, terutama kasusastraan Jawa waktu itu banyak menyerap dan membumikan nilai nilai India yang integrated dengan Agama Hindu itu di tanah Jawa. “Jawa memang dalam banyak hal merupakan imaginary India, wayang itu cerita India. Pada jaman Kediri cerita cerita wayang seperti mahabarata diterjemahkan pada masa pujangga pujangga besar semasa kerajaan kediri. Akhirnya cerita wayang itu ditempel dicandi candi. Didalam adaptasi kisah kisah sastra India yang diceritakan diJawa ini dengan diserap dan masukkan dalam nilai kehidupan mereka. Sehingga segala sesuatu yang berasal dari India itu tak lagi dinamakan dengan sastra india akan tetapi sastra jawa. Kalau di India ada puncak evrest, disini ada puncak semeru, kalau disana ada Dewa Siwa yang menciptakan bumi dan langit dengan arah empat arah mata angin dan satu pusat, disini diterjemahkan menjadi kiblat papat limo pancer. Lalu peristiwa peristiwa yang ada di India itu sepertinya disini, seperti bengawan silugongong, ada juga bengawan solo. Nah yang unik, tradisi menjawakan India itu diikuti oleh para wali dengan menjawakan Islam. Sehingga pada jaman ajisoko, didalam buku versi Islam, Ajisoko adalah Ki Joko yang merupakan pelarian dari tanah arab yang menjadi prajurit di Ngeruk” ujar Henricus.
Barulah pada masa kekuasaan Kertanegara di Singasari, wayang topeng ceritanya digantikan dengan cerita cerita Panji. Hal ini dapat dipahami ketika Kertanagera waktu itu menginginkan Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar ditanah Jawa. Panji yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri merupakan usaha dari Singasari untuk menandingi cerita versi wayang purwo yang mengisahkan cerita cerita India. Perlu dicatat bahwa Sangasari adalah kekuasaan yang mengembangkan semangat kolonialisasi, mereka bahkan mengembangkan wilayah kekuasaannya hingga ke Kalimantan, dan Melayu. Cerita Panji dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja raja yang pernah berkuasa ditanah Jawa. Cerita cerita Panji yang direkonstruksi oleh Singasari adalah suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari yang mulai berkembang. Namun begitu, cerita panji dalam wayang topeng memang menjadi berdebatan serius dikalangan ahli sejarah. Sebagian kalangan sejarawan, diantaranya Habib Mustopo, Guru Besar Universitas Negeri Malang mensinyalir bahwa cerita panji hanya mitos yang dibuat untuk menandingi dominasi wayang purwo, sebab dalam sumber sumber sejarah resmi yang ada di candi atau berbagai dokumen sejarah tidak diketemukan adanya cerita panji. Cerita Panji dalam hal ini meniru kisah kisah kesaktian Ken Arok untuk membangun legitimasi kekuasaannya.
Misalnya dalam Kitab Pararaton itu Ken Arok dari Turian Pedas Karang Turen lalu masuk kota Malang yang pada waktu itu diperkirakan dikota Kabalun (Kebalen) sekarang. Ken Arok kan mencuri, kemudian dikepung masyarakat setempat, Ken Arok kemudian memanjat pohon. Karena Ken Arok masih keturunan Dewa Brahma maka Dia melindungi Ken Arok. Ken Arok mengambil daun-daun kemudian terbang, nah itu kan sudah imajinasi, tapi imajenasi itu dapat dipahami pujangga waktu menulis itu sesudak Ken Arok berkuasa. Ada kecendrungan orang yang ditulis riwayat hidupnya setelah berkuasa itu setengah mitos untuk membangun kekuasaan dan seterusnya.
Namun Henri Supriyanto, penulis buku Wayang Topeng Malangan melihat bahwa cerita panji itu banyak dikenal dalam sastra lisan yang dikembangkan oleh para seniman dan sastrawan jaman itu. Sehingga nama nama para kesatria itu sulit dijumpai pada gelar gelar resmi dalam dokumen sejarah tulis yang rata rata dibuat oleh para pujangga keraton. “Nah yang susah itu kita kacau antara gelar dan nama. Jadi panji itu gelar setingkat raden, kemudian penganut jaman Singosari-Majapahit itu budaya totemisme dalam pengertian orang-orang besar itu mengambil nama-nama binatang yang model kepemimpinan dia itu seperti binatang tersebut. Ada kebo Marjuet, kebo ijo, Kebo Anabrang lalu ada lagi Hayam Wuruk, Gajah Mada nama-nama binatang itu diambil. Kesulitan kita itu dalam sastra ini yang diutamakan adalah tokoh dan tempat lalu semuanya mengaduk peristiwa-peristiwa suasana. Karena mengaduk pada suasana akhirnya sastra lesan itu banyak versi. Jadi sastra lesan itu versi mana. Karena yang menjadi juru tutur itu dalang maka berbeda, dalang ceritanya bergeser. Jadi cerita disini disebut buku itu tidak ada. Yang ada versi ini dan itu”, ungkap Supriyanto.
Bantahan bahwa cerita panji bukan sekedar mitos dapat kita jumpai pula dalam bukunya Thomas Stamfford Raffles, (History of Java. 1817), Ia mentabulasi Raja Raja Jawa, misalnya Jenggala pada tahun 846 M diperintah oleh raja raja berurutan sebagai berikut; Dewa Kesuma, Lembu Amilihur, Panji Kertapati, Panji Maisa Tandraman atau Panji Lalean. Dalam buku yang sama, Raffles misalnya juga mencatat bahwa Raja Raja Jawa pada tahun 1082 di Kediri diperintah oleh Lembu Amijaya, Ngarawan diperintah oleh Lembu Amisena, dan Jenggala Lembu Amiluhur.
Memang kalau kita telisik lebih mendalam, nama nama para kesatria Jawa waktu itu mengalami dualiasme. Nah, dalam sejarah lisan yang banyak dituturkan oleh Karimun maupun Henricus nama nama seperti Lembu Amiluhur, Panji Asmorobangun, Gunungsari dan lainnya adalah sebagai media komunikasi antara kawulo dan gusti, antara raja dan rakyatnya.
Kemampuan untuk menyerap segala sesuatunya dan membumikan dalam nilai kejawaan juga banyak terjadi tatkala Islam dan Jawa mulai bergumul dalam konteks wayang topeng. Wayang topeng dengan mengambil cerita menak yang sekarang banyak berkembang didaerah Sunda adalah bagian dari upaya Islam untuk merebut hati orang Jawa. Proses Islamisasi wayang topeng oleh para wali dengan menampilkan kisah marmoyo sunat adalah sederet cerita bagaimana Islam memproduksi nilai didalamnya.
“Konsep menjawakan Islam juga dapat kita lihat dalam cerita marmoyo sunat dalam wayang topeng. Dapat kita lihat pula wayang topeng dengan cerita menak. Cerita menak adalah sebagai tanda masuknya Islam ditanah Jawa. Oleh karena itu cerita menakjinggo yang selama ini dominan berkembang adalah cerita menak yang dikonstruk oleh keraton mataram yang notabene Islam. Sebab Mataram itu sulit sekali menundukkan brang wetan, khususnya wilayah Blambangan, yang meliputi Panarukan, Probolinggo, ketimur sampai Banyuwangi. Wilayah ini adalah murni Hindu, sementara wilayah Demak, Mataram, dan Pajang yang berada dibarat dikuasi oleh Islam”, tutur Henricus.
Sulitnya keraton keraton Islam menaklukkan brang wetan yang didalamnya termasuk bekas keraton Singosari (baca; Malang) mengakibatkan wayang topeng cerita menak kurang mendapatkan respon diwilayah ini. Hal lain yang mendorong wayang topeng cerita panji benar benar mendarah daging diwilayah brang wetan dikarenakan kebijakan mengembangkan wayang topeng yang ditanam kuat oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama. Topeng oleh Raden Wijaya dipergunakan sebagai media rekonsiliasi antara Kediri, Singosari dan Majapahit. Kalau kita singkap sejarah kehancuran Singasari, bangkit dan hancurnya kediri, serta tumbuhanya Majapahit dalam selang waktu kurang lebih lima tahun ternyata membawa luka yang begitu mendalam bagi rakyat diketiga wilayah itu. Henricus memiliki gambaran yang menarik mengenai usaha Raden Wijaya menggunakan topeng sebagai momen rekonsiliasi, “Raden Wijaya membuat eliminasi sejarah luka batin antara Kediri dan Malang itu hilang. Sebab Kediri dan Singasari dari segi rakyat yang sudah terlatih militer itu hanya Singosari dan Kediri yang menjadi modal dasar Raden Wijaya membentuk Majapahit. Kekuatan Raden Wijaya juga bertambah dari saudara-saudara yang ada di Madura (nelayan) dilatih perang, yang di Malang petani dilatih perang begitu juga yang dari Kediri. Dua-duanya mengerikan, di Malang itu yang mengerikan terjadi serangan Kediri yang mendadak, raja Singosari Kerta Negara itu menganut Tantrayana, demikian ketika dia tahu kerajaanya diserang dia mabuk akhirnya dengan mudah dibunuh.
Pembunuhan raja yang dilakukan di istana ini diketahui rakyat kecil, sehingga menimbulkan luka, sebenarnya ada apa.? Disatu pihak Kediri itu dendam kepada Prajurit Wijaya, dilain pihak Singosari dendam kepada Kediri karena membunuh Kerta Negara. Dibalik dendam-dendam ini ada rekonsiliasi besar, konsep rekonsiliasi ini cerita panji tema-nya perkawinan antar kerajaan-kerajaan. Lalu tema besarnya apa ? kita ini satu, kita ini saudara. Ketika kerusuhan Poso meledak mendadak Gus Dur mengatakan “saya dengan orang Kristen Itu satu iman” percaya hanya kepada satu tuhan ALLAH, hanya Nabinya yang berbeda. Kata yang di ucapkan Gus Dur itu sebenarnya kan rekonsiliasi, Raden Wijaya juga melakukan strategi demikian, jadi cerita panji itu rekonsiliasi. Lalu yang kita ketahui itu adalah satria dari Kediri, satria dari Jenggolo. Nah yang dijadikan kambing hitam itu orang luar Jawa”, ujarnya.
Begitu dramatiknya perbedaan makna dan alur cerita yang dibuat pada masa Singasari dan Majapahit, lantas disela dengan munculnya cerita menak pada masa kerato keraton keislaman telah membawa topeng menjadi arena medan kotestasi, media dimana sebuah tafsir dan nilai diproduksi untuk mengatur strategi survive, bahkan merebut kuasa dominan bagi tegaknya identitas politik.
Kalau kita membaca sejarah, topeng selalu berkembang didaerah perkebunan. Pada masa kolonial, daerah daerah perkebunan oleh mandor mandor belanda didirikan kembali kelompok kelompok topeng. Kenapa? Sebab daerah perkebunan adalah daerah daerah yang tingkat ekonominya sangat rendah dan kurang hiburan. Kita dapat lihat sekarang pusat pusat perkembangan wayang topeng itu seperti di; Kromengan, Pakisaji, Tumpang, adalah daerah daerah perkebunan kopi waktu itu.
Sedangkan Islam juga mengembangkan topeng dengan cerita menak. “Di Malang cerita menak dulu pernah diusung oleh Eyang Widji yang wafat tahun 1973, Namun karena pertunjukkan wayang topeng Eyang Widji didaerah Kalipare, Malang selatan yang daerahnya adalah daerah abangan, maka wayang topeng cerita menak yang diusung oleh Eyang Widji kurang dapat berkembang”, tutur Karimun.
Kini, dalam perkembangan kontemporer Topeng Malangan nyaris hanya terdapat empat tempat persemaian Topeng Malangan. Tumpang, Pakisaji, Wonosari dan Kromengan merupakan situs utama produksi dan kreasi Topeng Malangan. Namun kesemuanya secara homogen menampilkan cerita cerita panji sebagai relasi pararelitas historis dengan sejarah Malang sendiri yang panjang yang sangat resisten terhadap kekuasaan Mataram (baca; pusat). Akan tetapi yang pasti adalah topeng merupakan wujud kepribadian ganda (double coding), sebuah kedok masyarakat brang wetan untuk tidak menapilkan jatidiri yang sebenarnya agar tidak dapat teridentifikasi secara jelas oleh pusat pusat kekuasaan. Ini tentu sebuah siasat cerdas!!